Jumat, 26 Februari 2016
0
Ngentotin Rosi Adik Iparku
By PhantomX / Posted on Februari 26, 2016 / Saudara Ipar
Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak bulan
ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil
muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan pekerjaan dia sangat
bersemangat. Dia memang pekerja yang ambisius. Berdedikasi, disiplin,
dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota tetap dijalani.
Kualitas hubungan seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar tak
ingin disentuh kecuali pada saat benar- benar sedang relaks. Saya juga
tak ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani diam-diam di
kamar mandi. Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-
kata Mbak Maya sering terngiang- ngiang, terutama sesaat setelah sperma
memancar dari penis saya. "Kacian adik iparku ini.." Tapi saya tak punya
pilihan lain. Saya tak suka "jajan". Maaf, saya agak jijik dengan
perempuan lacur. Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah
Mbak Maya atau si bungsu Rosi, bergantian. Rosi telah tumbuh menjadi
gadis yang benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik penuh gairah, dan
terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi
sudah tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya
ngapelin kakaknya. Saya sering mencuri pandang ke arah payudaranya.
Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar 34. Punya istri saya sendiri
hanya 32. Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan
indah payudara itu. Keinginan untuk melihat payudara itu begitu kuatnya.
Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi kami sangat rapat.
Letak kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah
gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar
Mayang, kakak Rosi, baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari
tembok. Sehingga tak mugkin buat ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat
gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang dengan kamar Rosi terdapat
sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang berupa tanah kosong semacam
taman. Karena mertua butuh gudang tambahan, maka dibangunlah gudang.
Jendela kamar Rosi yang menghadap ke gudang tidak dihilangkan. Saya
pernah mengamati, dari jendela itu bisa mengintip isi kamar Rosi. Sejak
itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang
begitu Rosi selesai mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk
mengintip. Karenanya diam-diam lubang itu saya perbesar dengan obeng.
Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara montok dan indah milik
Rosi. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Rosi yang
ditumbuhi bulu-bulu lembut. Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan
onani sehingga di dekat lubang intipan itu terlihat bercak- bercak
sperma saya. Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu.
Keinginan untuk menikmati tubuh Rosi makin menggelayuti benak saya.
Tetapi selalu tak saya temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua
saya meminta saya mendampingi Rosi untuk menghadiri Ultah temannya di
sebuah diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar
biasa gembira saya antar Rosi. Istri saya menyuruh saya membawa mobil.
Tapi saya menolak. "Kamu kan harus detailing. Pakai saja. Masa orang
hamil mau naik motor?" Padahal yang sebenarnya, saya ingin
merapat-rapatkan tubuh dengan Rosi. Kami berangkat sekitar pukul 19.00.
Dia membonceng. Kedua tangannya memeluk pinggang saya. Saya rasakan
benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali
dengan nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi
sentakan di punggung. Saya pura-pura tertawa ketika Rosi dengan manja
memukuli punggung saya. "Mas Andy genit," katanya. Pada suatu ketika,
mungkin karena kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan
dadanya ke puggung saya. Menekannya. "Kalau mau gini, bilang aja terus
terang," katanya. "Iya iya mau," sahut saya. Tidak ada tanggapan. Rosi
bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan. Malam itu Rosi mengenakan
rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit. Benar-benar
seksi ipar saya ini. Di diskotik telah menunggu teman- teman Rosi. Ada
sekitar 15-an orang. Saya membiarkan Rosi berabung dengan
teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau nimbrung.
Sudah tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati
tubuh-tubuh indah para ABG. Tapi pandangan saya selalu berakhir ke tubuh
Rosi. She is the most beautiful girl. Di antara saudara istri saya Rosi
memang yang paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Maya, baru Yeni,
istri saya. Mayang yang terjelek. Tubuhnya kurus kering sehingga tidak
menimbulkan nafsu. Sesekali Rosi menengok ke arah tempat duduk saya
sambil melambai. Saya tersenyum mengangguk. Mereka turun ke arena.
Sekitar tiga lagu Rosi menghampiri saya. "Mas Andy udah pesan minum?"
tanyanya. Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di depan saya. Saya
tak berani minum minuman beralkohol, meski hanya bir. Saya pun bukan
pecandu. "Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen kamu," kata
saya. Janjinya Rosi dkk pulang pukul 22.00. Tadi ibu mertua juga bilang
supaya pulangnya jangan larut. "Nggak enak liat Mas Andy mencangkung
sendirian," kata Rosi duduk di sebelah saya. "Sudah nggak pa-pa."
"Bener?" Saya mengangguk, dan Rosi kembali ke grupnya. Habis satu lagu,
dia mendatangi saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak. "Ayo. Nggak
apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta
kok." Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang. Dunia
diskotik sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Dulupun saya jarang
sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya tahu saja
kayak apa suasananya. Sesekali tangan Rosi memegang tangan saya dan
mengayun- ayunkannya. Musik bener-benr hingar-bingar. Lampu
berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di lantai disko. Sesekali Rosi
menuju meja untuk minum. Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Rosi
pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga. "Bentar dong Mas Andy,
please," kata Rosi. Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya. "Heh.
Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang." Segera saya gelandang dia.
"Yee Mas Andy gitu deh." Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini
mulai menjemukan saya. "Udah dulu ya bro, sis. Satpam ngajakin pulang
neh." "Satpam-mu itu." Saya menjitak lembut kepala Rosi. Rosi memang
minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya tadi. Dia pun terlihat
sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua. Disuruh
jagain kok tidak bisa. Tapi ada senangnya juga sih. Rosi jadi lebih
sering memeluk lengan saya supaya tidak sempoyongn. Kami menuju tempat
parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Rosi mengenakan jaket yang kami
tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing resluitingnya. Berdesir
darah saya ketika sedikit tersentuk bukit di dadanya. "Hayoo, nakal
lagi," katanya. "Hus. Nggak sengaja juga." "Sengaja nggak pa-pa kok
Mas." Omongan Rosi makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya. Dan
sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, "Masih gerah. Ntar kalau
dingin Rosi kancingin deh." Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju
meninggalkan diskotik SO. Sungguh menyenangkan. Rosi yang setengah mabuk
ini seakan merebahkan badannya di punggung saya. Kedua tangannya
memeluk erat perut saya. Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis saya
menegang sejak tadi. Dagu Rosu disadarkan ke pundak saya. Lembut
nafasnya sesekali menyapu telinga saya. Saya perlambat laju motor.
Benar-benar saya ingin menikmati. Lalu saya seperti merasa Rosi mencium
pipi saya. Saya ingin memastikan dengan menoleh. Ternyata memang dia
baru saja mencium pipi saya. Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi saya.
Saya kira dia benar-benar mabuk. "Mas Andy, Rosi pengin pacaran dulu,"
katanya mengejutkan saya. "Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu ya." Penis
saya makin kencang. "Mau enggak?" "Kamu mabuk ya?" Dia tak menjawab.
Hanya pelukannya tambah erat. "Mas.." "Hmm" "Mas masih suka coli?" "Hus.
Napa sih?" "Pengen tahu aja. Mbak Yeni nggak mau melayani ya?" "Tahu
apa kamu ini." Saya sedikit berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa
saya tidak suka dia omong begitu, Mungkin reflek saja karena saya
dipermalukan. "Sorry. Gitu aja marah." Rosi kembali mencium pipi saya.
Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah
telinga. "Saya horny Ros." "Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga
diapa-apain" Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang
menyodok celana saya. Terperanjat dia. Tapi diam saja. Tangannya
merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya. "Pacaran ama Rosi
mau nggak?" kata Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat. "Di mana?
Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman." "Kalau
ama Mas Andy dijamin Ibu gak marah." "Sok tahu." "Bener. Ayuk deh. Ke
taman aja. Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja." Tanpa menunggu
perintah, motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini
memang arena asyik bagi mereka yang seang berpacaran. Meski di
sekitarnya lalu lintas ramai, tapi karena gelap, yaa tetap enak buat
berpacaran. Kami mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi
agak mudah mencarinya. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang
berpacaran di rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi merebahkan
kepalanya di dada saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif.
Atau karena pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket
dan menaruhnya di dekat bangku. "Kamu kan belum punya pacar, kok sudah
segini berani Ros?" tanya saya. "Enak aja belum punya pacar." Dia
protes. "Habis siapa pacar kamu?" Saya genggam tangannya. Dia mengelus-
elus dada saya. "Yaa ini." Dia membuka kancing kemeja saya. Saya makin
yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli saya. Inilah saatnya. Saya
kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia tersentak,
dan memberikan pipinya. Saya kembali mencari bibirnya. Saya kecup lagi
perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia diam saja. Benarkah anak ini belum
pernah berciuman bibir dengan cowok? "Kamu belum pernah melakukan ya?"
kata saya. Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya. Saya julurkan
lidah saya. Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap lidahnya, saya
kulum. Tangan saya kini menjalar mencari payudara. Dia menggelinjang
tetapi membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah BH-nya. Ketika
saya menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua
kakinya terjatuh dari bangku dan menendang-nendang rumputan. Saya buka
kancing BH- nya yang terletak di bagian depan. Saya usap-usap lembut, ke
kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya kili-kili. Dia mengaduh.
Tangannya terus meremasi pinggang dan paha saya. "Mas Andy.." "Hmm"
"Please.. Please." Saya mengangsurkan muka saya menciumi bukit-bukit
itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt srrt..srrt. Sesuatu keluar
dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar, mani saya
telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti ketika
bersetubuh dengan Yeni. Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu
hilang. Saya juga masih merasakan penis saya sanggup menerima
rangsangan. Saya masih menciumi payudara itu, menghisap puting, dan
tangan saya mengelus paha, menyelinap di antara celap CD. Membelai
bulu-bulu lembut. Menyibak, dan merasakan daging basah. Mulut Rosi terus
mengaduh- aduh. Saya rasakan kemaluan saya digeggamnya. Diremas dengan
kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu menggeser tempat duduk karena
sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan cengkeramannya. Lalu dia
membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat- kuat. Tapi
dia berhenti sebentar. "Kok basah Mas?" tanyanya. Saya diam saja. "Ehh,
ini yang disebut mani ya?" Sejenak situasi kacau. Ini anak malah ngajak
diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak sampai menempel. Kayaknya
dia mencoba membaui. "Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya? "Heeh,"
jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya. "Asin juga ya?" Dia
mengocok penis saya dengan tangannya. "Pelan-pelan Ros. Enakan kamu
ciumin deh," kata saya. Tanpa perintah lanjutan Rosi mencium dan
mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun, Tidak ada enaknya. Jauhh
dengan yang dilakukan Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta dia untuk
lebih pelan. Bahkan sesekali dia menggigit penis saya sampai saya
tersentak. Akhirnya saya kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi
karena kocokan tangannya. Setelah itu sunyi. Saya lemas. Saya benahi
pakaian saya. Dia juga membenahi pakaiannya. Tampaknya dia telah
terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan
dengan tissu. "Makasih pelajarannya ya Mas." Dia mengecup pipi saya.
"Tapi kamu janji jaga rahasia kan?" Saya ingin memastikan. "Iyaah. Emang
mau cerita ama siapa? Bunuh diri?" "Siapa tahu. Pokoknya just for us!
Nobody else may knows." Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang.
Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya. Menggelendot manja.
Dan pikiran waras saya mulai bekerja. Saya mulai dihinggapi kecemasan.
"Ros.." "Yaa" "Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Andy kan? Everyting just
for sex kan?" "Tahu deh." "Please Ros. Kita nggak boleh keterusan.
Anggap saja tadi kita sedang mabuk." Saya menghentikan motor. "Iya deh."
"Bener ya? Ingat, Mas Andy ini suami Mbak Yeni." Dia mengangguk
mengerti. "Makasih Ros." Saya kembali menjalankan motor. "Apa yang
terjadi malam ini, tidak usahlah terulang lagi," kata saya. Saya
benar-benar takut sekarang. Saya sadari, Rosi masih kanak- kanak. Masih
labil. Dia amat manja. Bisa saja dia lepas kendali dan tak mengerti apa
arti hubungan seks sesaat. Lalu saya dengar dia sesenggukan. Menangis.
Untunglah dia menepati janji. Segalanya berjalan seperti yang saya
harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun kesempatan selalu
terbuka dan dibuka oleh Rosi. Saya benar- benar takut akibatnya. Saya
tidak mau menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak mau menghancurkan
rumah tangga saya. Saya hanya menikmati Rosi di dalam bayangan. Ketika
sedang onani atau ketika sedang bersetubuh dengan Yeni. Sesekali saja
saya membayangkan Mbak Maya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar